CERITA DEWASA PENARI JALANAN MOLEK MENJUAL DIRI

CERITA DEWASA PENARI JALANAN MOLEK MENJUAL DIRI


CERITA DEWASA PENARI JALANAN MOLEK MENJUAL DIRI, Hasrat-Bispak29 Seluruhnya orang didalamnya harus bertarung serta berkorban supaya tak terdepak, dan tidak semuanya jalan yang dapat dilewati itu terang-benderang…Izinkan saya ceritakan kejadian hidup saya. Nama saya Darmini, namun orang tidak banyak yang mengetahui nama asli saya. Bapak serta Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa buat anak wanita di daerah saya, namun berarti gak hanya itu. Denok pun bermakna montok alias sintal, dan ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Zaman kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak hanya satu Bapak serta Simbok, satu keluarga petani penggarap yang tidak berpunya. Mulai sejak kecil saya diajari menari oleh Simbok, sebab beliau sendiri waktu muda merupakan seseorang penari, serta kerapkali ditanggap kalaupun ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti waktu satu hari saya dan Simbok temui Bapak menggantung diri. Nyatanya Bapak punyai banyak hutang dikarenakan hilang ingatan judi, dan beliau tidak sanggup membayar hutangnya itu. Kami terang sendu karena Bapak telah tak ada, dan juga kebingungan lantaran beberapa waktu sehabis Bapak dikebumikan, kami ditendang dari rumah lantaran rumah kami diambil broker judi yang memberikan hutang terhadap Bapak. Kami gak miliki tujuan, serta uang simpanan kami gak berapa. Simbok selanjutnya ngotot membawa saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita dapat coba mencari uang, semoga dari sana mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya sekedar alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama tidak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, tidak diterima karena dikira pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang tidak penting ijazah, lawan banyak. Pada akhirnya sehabis lumayan lama menyimak beragam peluang yang ada, Simbok memastikan untuk menggunakan ketrampilan kami. Hanya modal kemeja dan peralatan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa serta kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awali kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota tengah persiapan ujian akhir SMA atau menjalankan tahun awalan kuliah, dan yang di dusun menanti dijodohkan oleh orangtuanya, saya mengawali jalani kehidupan baru, menawarkan keterampilan seni tari bersama Simbok. Sebelumnya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, sebatas cari keramaian di mana kami dapat mendapat beberapa lembar rupiah buat bertahan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mendalami jalanan Ibu-kota buat cari beberapa orang yang pengin kami hibur dengan tarian kami. Nyatanya gak enteng pula cari uang secara sesuai ini, paling-paling yang kami peroleh hanya buat makan kami berdua, satu atau 2x di hari itu. Dan tidak di seluruh tempat kami dapat memperoleh pirsawan yang siap bayar, kadang kami malahan ditendang atau dihardik. Seusai lumayan lama, kami bertemu tempat di mana kami dapat terus bisa pemirsa serta uang: satu pasar induk yang lumayan besar, dan lingkungan disekelilingnya. Kami juga sewa satu kamar sewa murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, berasal dari kelompok menengah ke bawah, haus selingan murah yang dapat membikin mereka ingat daerah semasing. Kedatangan kami di situ selalu disongsong senyuman, tawa, serta helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Walau seringkali helai-lembar itu diserahkan kepada kami oleh kurang santun umpamanya dengan diselinapkan ke busana kami. Apa saya serta Simbok betul-betul memikat? Entahlah ya. Saya sendiri tak terasa elok. Sebagai anak petani yang kerap main di luar mulai sejak kecil, kulit saya jadi lumayan gelap terbakar matahari. Tetapi Simbok pun dari dahulu selalu mengarahkan serta memperingatkan saya buat menjaga badan walau lewat cara simple, jadi biarpun sawo masak, kulit saya terus mulus dan tidak jerawatan ditambah lagi bopeng-bopeng lho.


Oh iya, barusan kan saya udah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipertimbangkan betul  sich bila di sebut saya montok. Gak tahu mengapa, meski rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepres, kok tetap juga tubuh saya bisa saja ya. Saat sebelum remaja saja tetek saya telah tumbuh, serta saat ini jadi subur gumebyur hingga saya terus cemas dengan kemben saya setiap kali menari. Pantat saya pula kuat dikarenakan dibuat latihan olah badan dalam tarian. Ada yang omong bahenol, saya sich matur nuwun saja kalaupun ada yang menganggapnya demikian. Bertanya-tanyanya, kendati atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut serta pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya sepertinya kelak tubuh saya bakal menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, kalaupun Simbok itu benar-benar elok. Sampai usia begitu juga beliau terus elok. cerpensex.com Manalagi apabila sudah gunakan sanggul dan dandan, wuihh. Seluruhnya orang nengok dan tidak tonton apapun kembali. Saya sendiri terus berasa buruk lho bila tampil bersama Simbok. Ah, tetapi sedunia cuman saya sendiri yang nganggap muka saya buruk. Selainnya Simbok, beberapa orang yang umum menonton kami menari kok segalanya omong saya elok. Saya berpikir, ini sih pinter-pinternya Simbok merias saya saja. Waktu pertama kalinya didandani buat ngamen, saya protes, kok sibuk benar-benar. Rambut perlu disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk serta kembang. Muka perlu dibedaki tebal-tebal, hingga sampai lain warna dengan tubuh. Barangkali tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang gak ketutupan. Alis saya yang udah tebal dibuat jadi tebal. Bibir pula diberi gincu warna merah oke. Saya saat itu ngeluh, WAJIB 4D


"Kok udah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu tidak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita harus membikin suka yang tonton."


Lama-kelamaan saya biasa pun pakai dandanan semacam itu, malahan saya buat jadi guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis tiap hari kejadian penganten, nanti kalaupun nikah betulan harus seperti apakah diriasnya?" Dandan paras yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, seperti sama kemben, kain batik, serta selendang. 


Namun memanglah yang bernama nasib itu jalannya tidak ada yang mengetahui. 2 bulan kami tinggal di dekat Pasar, bencana hadir kembali. Waktu tengah nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cedera kritis. Saya kuatir, beberapa orang di sekeliling beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Tetapi Simbok gak terbantu. Simbok mati di rumah sakit selesai 2 hari dua malam usaha ditolong dokter di situ. Sesungguhnya semenjak ketabrak pun Simbok telah tak ada angan-angan, namun tidak tahu mengapa beliau lama sekali wafatnya. Sekaratnya hingga sampai sepanjang hari. Hingga sampai gak sampai hati saya menyaksikannya. Saat itu ada yang bisik-bisik, kemungkinan Simbok pasang susuk, maka itu wafatnya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara sesuai itu. Tetapi apa itu betul atau tidak, saya tidak mau tahu, biarkan itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya selanjutnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis untuk mbayar rumah sakit dan penyemayaman, justru perlu berutang kemanapun. Saya tidak bisa melangsungkan acara beberapa macam buat Simbok, cuman dapat doakan sendiri mudah-mudahan roh Simbok dapat tenang di alam sana serta bertemu kembali dengan Bapak. 1 minggu lebih saya di kontrak saja sebab terlampau bersedih. Kemungkinan setiap hari saya menangis, bersedih ingat Simbok, pula kesepian. Selanjutnya saya memaksakan diri untuk keluar kembali, ngamen kembali, karena uang udah habis dan saya pula perlu lawan banyak tukang tagih hutang yang tak mau tahu persoalan saya . Sehingga, satu minggu selepas Simbok dikebumikan, saya kembali bersiap buat keluar, menari. Didepan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul dan kembang, saya bedaki muka saya agar gak nampak beberapa bekas menangis, saya gunakan kembali kemben dan kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, cocok keluar kamar saya malahan bertemu dengan ibu yang miliki sewaan. Sang ibu gak gunakan basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya tidak punyai uang, jadi saya sekedar dapat katakan maaf, serta sang ibu jadi ngancam secara lembut. Tidak apapun tidak bayar, ujarnya, namun esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok tidak habis-habis ya kendala untuk saya. Saya pengin upaya dahulu, kata saya, kelak bakal saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA PENARI JALANAN MOLEK MENJUAL DIRI


Apesnya, hari itu pasar lumayan sepi, serta sehabis dua jam saya anyar bisa Rp5000 selepas menari di pangkalan ojek. Saya tidak dapat fokus, kepala sarat dengan ingatan, bagaimana triknya agar kelak bila pulang telah miliki cukup uang untuk bayar sewa. Belum hutang-hutang yang lain. Mendekati siang, saya lagi jalan di barisan toko toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya lihat Juragan sedang hitung segepok uang. Beliau baru-baru ini terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya saat itu cuman tahu beliau jadi ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau udah tua, lebih tua dibanding Simbok, kemungkinan umurnya telah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis dan jenggotnya jarang. Tubuhnya besar serta perutnya gemuk. Sekali 2x saya serta Simbok pernah menari di muka tokonya, serta pegawai-pegawainya memberinya kami uang namun beliau tidak. Namun beliau pernah pinjamkan uang pada Simbok, serta Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendatangi Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot di serta ada di belakang. Tokonya tengah sepi, tak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan memandang saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya gak kuat bilangnya. Namun saya harus katakan. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya udah habis buat cost penguburan Simbok… saat ini saya harus bayar sewa dua bulan…"


"Hah?" Juragan memandang saya dengan aneh, "Kamu penting uang?"


"Tolong, Juragan," saya minta kembali, "Saya telah ditagih, ini hari harus ada, atau saya ditendang. Saya janji akan balikkan secepat-cepatnya." WAJIB 4D


Eh, kok Juragan langsung kantongi segepok uang tadi ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberikan hutang. Kamu perlu uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini pun kembali kerja, Juragan," saya dongkol tetapi tidak berani menunjukkan; kayaknya Juragan tidak pingin pinjamkan uang. "Sekedar ngerinya saya tak dapat dapat uang ini hari buat membayar sewaan. Bila berjualan, saya nggak miliki apapun, perlu jual apa?"


Tetapi selanjutnya tatapan Juragan kok beralih jadi aneh… Beliau dekati saya serta merengkuh saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang omong kamu tidak punyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengen kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, sampai pipi saya menempel dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan terus terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya memikirkan apa tujuannya itu.


"Jika kamu pengin, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar untuk bulan depannya," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya harus bagaimana? Saya perlu uang, namun apa perlu lewat cara semacam ini? Tetapi jika gak, bagaimana kembali? Yang ada saya bakalan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama dengan. Saya gak punyai opsi lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga gak terdengaran. Kalaupun saja tidak ketutupan bedak, kemungkinan telah tampak muka saya beralih merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga terbuncang-guncang. "Bagus, Denok. Marilah turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan nyatanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan gak miliki istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya selalu menyaksikani lantai, tak berani mengusung kepala, tetapi sesekali saya ngintip ke sana-kemari memandang kondisi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada photo tua yang memberikan Juragan dengan seseorang wanita—istrinya kah? Juragan menggamit tangan saya masuk ke satu kamar. Ruangan tidurnya. Ia suruh saya duduk di dipan. Saya duduk, sembari tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, memperhatikan sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sembari ngomong,


"Denok, angkat kepalamu, tonton saya." Saya nurut. Kemungkinan ia saksikan mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," ucapnya.


Ia simpan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, menyaksikan uang itu. Besar sekali untuk saya. Rata-rata sepanjang hari menari saya tak sempat mendapat uang sekitar itu. Namun saya masih tetap kuatir. Juragan mendadak pengen ambil kembali uang itu.


"Kalaupun tidak mau ya udah," tukasnya dengan suara kurang suka.


Namun saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Serasi tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, dan saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum menyaksikan saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Buat orang hasrat ajah…" saya saksikan Juragan nyengir lebar seusai bicara itu. sumpah, anyar ini kali ada laki laki terbuka ngaku semacam itu.


Helai uang lima puluh ribu baru saja diletakkan Juragan di samping saya ia mengambil, lipat, lalu ia sisipkan ke… aduh! Ia berikan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," ucapnya. Duh, gak yakin rasanya. Awal mulanya saya serta Simbok harus menari sepanjang hari, hingga pegal-pegal, buat mendapat uang kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya mendapat uang sejumlah itu … kok mudah sekali?


"Betulan buat saya…?" Masih tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka seluruhnya," kata Juragan sekalian menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa tujuannya itu? Apa Juragan sukai dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang ngomong itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben masih ditahan tangan saya, serta kainnya melesat demikian saja tiada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya bisa peroleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan mohon saya membuka pun kain batik coklat yang saya gunakan.


Kemungkinan sebab barusan saya malu dan pelan satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya dan mengungkap kain batik saya. Saya tiba-tiba mundur, tetapi tangan Juragan terus menggenggam bahu saya.


"Tidak boleh takut, Denok…" tuturnya.


Juragan  menggenggam paha saya masih yang beberapa tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Suara "Eihh" keluar mulut saya, malu lantaran sentuhan Juragan. Tangannya selanjutnya nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersinggungan dengan kulit paha saya, serta saya tambah deg-degan. Ia selalu remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar suara jenis-jenis dari mulut saya. Tangan satunya terus nyibak kain saya, sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, tengah diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga paha saya udah dikeluarkan dari buntelnya, sedikit kembali kancut saya tampak!


"Tiduran saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya masih nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang masih belum saya lepas (apa sebaiknya saya lepas ?) ngganjal belakang kepala saya. Serta sekalian saya tiduran itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya untuk pekerjaan: satu membujur di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya sangsi, namun gak tahu mengapa, saya  kok rasa nafsu saya bangun? Aduh? Kok berikut ini jadi? Juragan terus terusan memandang sekujur badan saya, sekalian beri pujian.


"Mari donk, tidak mesti tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, kalaupun kamu pengen kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan dimasukkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya gak ada yang tutupi. Saat ini kancut saya terlihat.


"Euh… Juragan… pengen pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama